Adil Tak Harus Sama Rata
Saya mengakui saya salah karena terlambat hadir di sekolah. Tapi mengapa hanya murid yang tidak boléh meléwati pintu gerbang sekolah, sedangkan guru boléh léwat setelah bél jam pertama berbunyi? Harusnya guru pun tidak boléh. Itu baru namanya adil!
Jam belajar di sekolah X adalah jam 6:30-15:00. Jam 6:35 pintu gerbang ditutup. Murid yang terlambat, konsékuénsinya tidak dibukakan pintu gerbang.
Salah seorang murid yang datang terlambat protés. "Mengapa hanya kami yang pintu gerbangnya ditutup? Sedangkan guru ada yang bisa nyelonong masuk!"
Pembina Kesiswaan menerapkan teknik STOP terlebih dulu, kemudian dengan tersenyum, dia menjelaskan:
"Mémang tidak nyaman bila kita diperlakukan tidak adil. Bapak pun dulu berpikiran seperti kamu. Tapi ada yang harus kita ketahui, nak. Jam kerja PNS adalah 8 jam, yaitu dari jam 7:30 sampai jam 16:00. Guru-gurumu sebagian besar adalah PNS, yang berarti harus mengikuti ketentuan jam kerja yang telah diatur oléh pemerintah. Ketika bapak dan ibu guru mendapat jadwal mengajar di jam pertama, beliau dengan ikhlas hadir di kelas jam 6:30, walau pun jam kerjanya baru dimulai jam 7:30, dan beliau pulang tetap harus jam 16:00 sesuai ketentuan; tidak bisa dimajukan ke jam 15:00 dengan alasan karena tadi pagi telah hadir 1 jam lebih awal. Guru yang tidak mendapat tugas mengajar di jam ke 1 dan ke 2, boléh datang jam 7:30.
Bila bapak atau ibu guru yang mendapat tugas mengajar di jam pelajaran ke 3 pun harus dipulangkan, maka siapa yang akan mengajar di kelas? Padahal bapak dan ibu guru itu tidak bersalah. Ingat bahwa beliau tidak mendapat jadwal mengajar di jam ke 1.
Bapak atau ibu guru yang kebetulan tidak mendapat tugas mengajar di jam ke 1 dan ke 2, mungkin bisa memanfaatkan waktu luang untuk mengantar anaknya ke sekolah. Kasihan bila dari Senin sampai Jum'at selalu nénék atau kakéknya yang mengantar.
Dari sini kita menjadi paham bahwa adil tidak harus sama rata. Bila harus sama persis, apakah kamu mau bila pulang pun kamu harus seperti bapak dan ibu gurumu yaitu jam 16:00?"
Murid itu menjawab, "Tidak mau pak."
Pembina kesiswaan memberi isyarat jempol, kemudian menambahkan:
"Kalau kamu terlambat, konsékuénsinya adalah pintu gerbang tidak dibuka. Sedangkan bapak dan ibu guru yang terlambat, konsékuénsinya adalah mendapat teguran dari Kepala Sekolah. Tentu saja teguran itu tidak perlu ditunjukkan di hadapan murid-murid. Guru dan murid mempunyai kewajiban berbeda, dan konsékuénsi yang berbéda pula. Ini adil, walau pun perlakuannya tidak sama."
Di atas walau pun hanyalah kisah fiktif, tapi semoga kita bisa mengambil pelajaran positif darinya.
Lagi pula, banyak sekolah yang tidak memulangkan murid yang terlambat. Murid yang terlambat boléh masuk ke halaman sekolah, kemudian menunggu sampai pergantian pelajaran. Sambil menunggu diizinkan masuk ke kelas, murid yang terlambat diarahkan agar membaca buku di perpustakaan, dibimbing oléh pustakawan, guru BK, atau guru pikét. Tentu saja kasus keterlambatan ini dicatat, dan dilaporkan ke orang tua murid. Bila murid sering terlambat, bukan murid yang dipulangkan tapi orang tuanya yang diundang datang ke sekolah.
Memulangkan murid yang terlambat sebenarnya adalah keputusan yang kurang tepat, sebab tugas guru justru mendidik murid. Bukan saja mendidik murid-murid yang telah disiplin datang sesuai peraturan, tapi tugas guru juga mendidik murid-murid yang kurang disiplin agar lebih disiplin.
Memulangkan murid yang terlambat berarti melepas salah satu tugas guru yaitu mendidik murid. Untuk gambaran perbandingan, murid yang di kelas tidak paham pelajaran (misalkan tidak bisa menjawab soal di papan tulis) maka murid itu harus diajari agar paham, bukan malah disuruh meninggalkan kelas. Iya kan? Demikian pula seharusnya pada murid yang terlambat datang ke sekolah. Harus dididik, bukan dipulangkan.
Hukuman memulangkan murid mungkin bisa membuat murid taat, tapi karena ketaatan itu bukan dari kesadaran diri sendiri, maka ketika pengawasan mulai longgar, dia akan mengulang. Murid pun mungkin sakit hati dan itu bisa mengendap sampai déwasa.
Selain mempertimbangkan aspék disiplin dan éféktivitas métode konsékuénsi terhadap murid yang terlambat, perlu juga dilihat dari sudut pandang keselamatan dan keamanan murid di lingkungan sekolah. Meskipun hukuman seperti memulangkan murid yang terlambat bisa mengajarkan meréka untuk lebih patuh terhadap jadwal, tetapi apakah itu benar-benar memberikan pengalaman belajar yang positif?
Apakah terpikirkan bagaimana bila murid yang dipulangkan bukan langsung pulang ke rumah tapi justru keluyuran di mal, atau nongkrong dengan para préman, atau malah mengalami kecelakaan lalulintas?
Hukuman berupa menyuruh murid pulang tidak akan membantu meréka untuk belajar. Jika murid dipaksa pulang, meréka akan kehilangan pelajaran dan materi yang diajarkan di kelas. Ini akan membuat meréka semakin tertinggal dari teman-teman meréka dan akan lebih sulit mengejar ketertinggalan. Pada akhirnya justru bisa membuat murid makin setrés.
Sebagai alternatif, ada pendekatan lain yang dapat diterapkan untuk mengatasi keterlambatan murid. Pertama, adalah mengadopsi pendekatan prévéntif, yaitu dengan memberikan pengertian yang lebih mendalam mengenai pentingnya kehadiran tepat waktu di sekolah. Guru dan staf sekolah dapat melakukan sosialisasi dan penyuluhan kepada para murid tentang manfaat hadir tepat waktu, seperti mendukung keberlangsungan prosés pembelajaran dengan lancar, membangun kedisiplinan diri, dan menghargai waktu orang lain.
Selain itu, sekolah juga bisa memberikan motivasi positif untuk mendorong kedisiplinan murid, seperti memberikan aprésiasi kepada murid yang selalu hadir tepat waktu, memberikan penghargaan khusus, atau menciptakan sistem inséntif yang mendorong murid untuk datang tepat waktu.
Bagi murid yang sering terlambat, pendekatan yang lebih personal dan pemahaman mendalam terhadap situasinya dapat membantu. Mengadakan sési konseling atau pembinaan untuk mengidentifikasi penyebab keterlambatan dan memberikan dukungan yang tepat dapat membantu murid untuk memahami dan mengatasi masalah yang mungkin dialaminya.
Sebagai sebuah komunitas pendidikan, kerjasama antara sekolah, guru, orang tua, dan murid sangat penting. Komunikasi yang terbuka antara pihak-pihak terkait dapat membantu menemukan solusi yang lebih bijaksana dalam menghadapi masalah keterlambatan ini. Dengan pendekatan yang holistik (menyeluruh) dan berlandaskan pada émpati, sekolah dapat menciptakan lingkungan yang mendukung pembelajaran yang lebih baik bagi semua muridnya.
Ingatlah bapak dan ibu guru hébat, pendidikan bukan hanya tentang mengajar pelajaran akademis, tetapi juga membentuk karakter, kedisiplinan, dan sikap positif dalam kehidupan sehari-hari. Semua pihak harus bekerja sama untuk menciptakan lingkungan belajar yang aman, inklusif, dan mendukung perkembangan holistik para murid. Dengan begitu, kita dapat melihat perkembangan positif dalam préstasi akademik maupun non-akademik meréka, dan meraih hasil yang lebih baik dalam prosés pendidikan yang berkelanjutan.
Mawan A. Nugroho.
Guru Penggerak Angkatan 7.