Bijak Tapi Tidak Empati

Semua orang mampu memberi nasihat kepada orang lain, namun tidak setiap orang dapat menunjukkan empati. Berempati adalah suatu kecerdasan tersendiri yang tidak semua orang mampu melakukan dengan baik.

Bijak Tapi Tidak Empati
Ilustrasi coaching.

Bayangkan sebuah dunia di mana setiap percakapan dimulai dengan pemahaman, bukan penghakiman. Di tengah era komunikasi digital yang serba cepat, keterampilan empati muncul sebagai kunci utama dalam membangun hubungan yang bermakna.

Sayangnya, kita kadang tidak sengaja mengucapkan kalimat yang seolah bijak namun sesungguhnya tidak berempati dan mungkin kalimat itu diam-diam melukai hati orang lain.

Mari kita simak satu contoh nasihat yang sering ditemui di kehidupan sehari-hari. Nasihat ini terdengar bijak, tapi sesungguhnya tidak berempati. Mungkin kita pernah mengucapkan kalimat ini. Bahkan seorang guru yang telah dilatih tentang coaching di Pendidikan Guru Penggerak, mungkin juga pernah tidak sengaja mengucapkannya.

Curhat

Alda: "Saya telah bekerja 10 tahun sebagai pegawai honorer. Sampai sekarang belum diangkat menjadi PNS. Gaji saya kecil."

Bella: "Jangan mengeluh. Gajimu sebenarnya cukup bila kamu pandai bersyukur. Tidak ada yang memaksa kamu menjadi honorer. Itu pilihanmu sendiri. Kalau tidak sanggup, sebaiknya ajukan pengunduran diri secara baik-baik. Di luar sana masih banyak pengangguran yang siap menggantikan posisi kamu."

Bella tidak menyadari bahwa kalimatnya ternyata dirasakan tidak nyaman bagi Alda. Mengapa?

  • Kurang empati: Bella tidak menunjukkan pemahaman atau simpati terhadap situasi sulit yang dihadapi Alda;
  • Menyalahkan korban: Bella seolah-olah menyalahkan Alda atas situasinya, padahal masalah yang dihadapi Alda mungkin berasal dari faktor-faktor di luar kendalinya;
  • Tidak konstruktif: Komentar Bella tidak memberikan solusi atau dukungan apapun;
  • Meremehkan masalah: Bella terkesan meremehkan kesulitan yang dihadapi Alda selama 10 tahun bekerja.

Lagi pula, orang berkeluh kesah kadangkala bukan minta digurui, tapi hanya ingin didengar dan agar orang lain memahami perasaannya.

Kalimat yang lebih bijak yang seharusnya diucapkan Bella bisa seperti ini:

💡
"Saya mengerti situasimu pasti sulit, Alda. Sepuluh tahun adalah waktu yang lama untuk bertahan sebagai pegawai honorer. Bagaimana kalau kita diskusikan bersama tentang langkah-langkah yang mungkin bisa kamu ambil untuk meningkatkan situasi kerjamu? Mungkin kita bisa mencari tahu tentang peluang peningkatan status kepegawaian atau mencari alternatif pekerjaan lain yang lebih baik. Aku siap membantumu jika kamu membutuhkan dukungan."

Kalimat ini lebih baik karena:

  1. Menunjukkan empati dan pengertian;
  2. Mengakui kesulitan situasi Alda;
  3. Menawarkan bantuan dan dukungan;
  4. Mendorong diskusi konstruktif untuk mencari solusi;
  5. Tidak menyalahkan atau meremehkan masalah Alda.

Empati Pada Coaching dan Segitiga Restitusi

Di Pendidikan Calon Guru Penggerak ada materi tentang Coaching dan Segitiga Restitusi. Hubungan antara kalimat empati, coaching, dan segitiga restitusi erat kaitannya dalam konteks komunikasi interpersonal dan resolusi konflik. Mari kita bahas satu per satu:

  1. Kalimat Empati:
    Kalimat empati adalah ungkapan yang menunjukkan pemahaman terhadap perasaan dan situasi orang lain. Ini adalah dasar dari komunikasi yang efektif dan penuh kasih.
  2. Coaching:
    Coaching adalah proses membimbing seseorang untuk mencapai potensi terbaiknya melalui dialog yang konstruktif dan reflektif.
  3. Segitiga Restitusi:
    Segitiga restitusi adalah konsep dalam resolusi konflik yang terdiri dari tiga elemen: pengakuan, tanggung jawab, dan perbaikan.

Hubungan antara ketiganya:

  1. Empati sebagai Fondasi:
    • Dalam coaching, empati adalah keterampilan kunci. Coach perlu memahami perspektif dan perasaan coachee.
    • Dalam segitiga restitusi, empati membantu dalam fase pengakuan, di mana seseorang mengakui dampak tindakannya terhadap orang lain.
  2. Coaching Menggunakan Kalimat Empati:
    • Coach menggunakan kalimat empati untuk membangun hubungan trust dengan coachee.
    • Kalimat empati membantu coachee merasa didengar dan dipahami, membuka jalan untuk perubahan positif.
  3. Segitiga Restitusi dalam Proses Coaching:
    Coaching sering melibatkan elemen-elemen segitiga restitusi:
    a. Pengakuan: Membantu coachee mengakui situasi atau masalah.
    b. Tanggung jawab: Mendorong coachee mengambil tanggung jawab atas tindakan dan keputusannya.
    c. Perbaikan: Membimbing coachee menemukan solusi dan melakukan perbaikan.
  4. Kalimat Empati dalam Segitiga Restitusi:
    • Pengakuan sering dimulai dengan kalimat empati, misalnya: "Saya mengerti bahwa tindakan saya telah menyakiti Anda."
    • Tanggung jawab dapat diekspresikan dengan empati: "Saya memahami dampak dari keputusan saya dan saya bertanggung jawab penuh."
    • Perbaikan juga melibatkan empati: "Saya ingin mendengar dari Anda bagaimana saya bisa memperbaiki situasi ini."
  5. Integrasi dalam Komunikasi Efektif:
    • Kombinasi kalimat empati, pendekatan coaching, dan prinsip segitiga restitusi menciptakan komunikasi yang efektif dan berorientasi solusi.
    • Ini membantu dalam menyelesaikan konflik, membangun hubungan yang lebih kuat, dan mendorong pertumbuhan pribadi.

Dalam konteks Alda dan Bella, pendekatan yang mengintegrasikan ketiga elemen ini dapat diwujudkan dalam kalimat:

"Alda, saya mendengar frustrasi dalam suaramu (empati). Mari kita bicarakan lebih dalam tentang situasimu dan apa yang bisa kita lakukan untuk memperbaikinya (coaching). Aku minta maaf jika komentarku sebelumnya terdengar tidak sensitif (pengakuan). Aku ingin mendukungmu dan mencari solusi bersama (tanggung jawab dan perbaikan)."

Dengan mengintegrasikan empati, coaching, dan prinsip segitiga restitusi, kita dapat menciptakan dialog yang lebih konstruktif dan mendukung dalam berbagai situasi komunikasi.

Mawan A. Nugroho.
GP Angkatan 7 / PP Angkatan 11.