Durian Runtuh
Di media sosial ada video tentang orang yang menemukan durian. Durian itu berada di tengah jalan. Sepertinya jatuh dari pohon durian. Pertanyaannya, apakah boleh dipungut?
Di media sosial ada video tentang orang yang menemukan durian. Durian itu berada di tengah jalan. Sepertinya jatuh dari pohon durian. Pertanyaannya, apakah boleh dipungut?
Sebagian orang berpendapat, itu boleh dipungut karena jatuh di lahan umum. Sebagian lagi berpendapat tetap tidak boleh, terutama bila di daerah itu tidak ada kebiasaan yang membolehkan memungut buah yang terjatuh atau diyakini pemiliknya tidak akan rela.
Saya lebih condong pada pendapat yang tidak membolehkan. Misalkan yang ditemukan bukan durian tapi dompet orang lain, apakah dompet itu boleh dipungut dan dimiliki si penemu? Bahkan bank yang salah transfer pun, si penerima dana harus mengembalikan, sekali pun dana itu disangka hadiah dari bank kemudian telah terlanjur dibelanjakan.
Sebagai guru, saya mengajarkan kepada murid-murid untuk menyerahkan uang atau barang yang ditemukan ke guru piket.
Saya juga pernah menemukan uang yang terjatuh di parkiran mal. Uang itu tidak dipungut, tapi saya tengok kiri dan kanan mencari petugas keamanan. Alhamdulillah terlihat ada petugas. Saya melambaikan tangan sambil memanggil beliau kemudian menunjukkan ada uang yang terjatuh. Saya tidak menyentuh uang itu. Setelah diamankan oleh petugas, saya melanjutkan perjalanan.
Ketika saya masih kanak-kanak, ada penumpang kereta api yang turun tergesa-gesa di suatu stasiun. Kebetulan keluarga saya duduk di lorong seberang dan akan turun di stasiun berikutnya. Terlihat buku novel yang tertinggal. Saya buru-buru mengambil buku itu, mengejar pemiliknya yang telah turun dari gerbong, kemudian menyerahkannya. Tidak ada rasa menyesal karena "kehilangan" kesempatan memiliki buku novel. Justru saya senang karena mendapat pujian dari orang tua saya.
Kembali ke masalah durian. Sebaiknya durian itu dipinggirkan agar tidak menghalangi jalan, kemudian si penemu melanjutkan perjalanan tanpa memungut durian itu. Bila tahu pemiliknya, lebih baik diserahkan ke pemiliknya. Kemungkinan besar pemilik kebun akan berterima kasih kemudian memberikan ke si penemu. Tapi kalau pun tidak diberikan, ya tidak apa-apa. Setidaknya telah berbuat satu kebaikan.
Buah Kurma Tetangga
Sebagai pelengkap, saya copaskan kisah tentang buah kurma yang terjatuh di pekarangan tetangga yang bernama Abu Dujanah.
Abu Dujanah adalah sahabat Nabi dari kabilah Khazraj, beliau gugur sebagai syahid dalam perang Yamamah saat melawan nabi palsu, Musailamah al-Kadzzab.
Suatu saat, dalam beberapa hari terakhir seusai shalat shubuh berjamaah bersama Nabi, Abu Dujanah selalu tergesa-gesa dan tidak bersabar menunggu doa yang dipanjatkan Nabi sehabis shalat. Melihat gelagat yang kurang enak ini, Nabi bertanya. “Mengapa akhir-akhir ini engkau selalu terburu-buru pulang saat usai jemaah shubuh. Apakah engkau tidak memiliki permintaan kepada Allah, sehingga tidak pernah menunggu doa bersamaku, ada apa?"
Abu Dujanah menjawab, “Bukan demikian wahai Nabi, namun kami mempunyai uzur, sehingga tergesa-gesa pulang.” Lalu Abu Dujanah memulai ceritanya.
“Begini, rumah kami berdampingan dengan rumah seorang laki-laki. Di atas pekarangan rumah milik tetangga kami ini, terdapat satu pohon kurma menjulang, dahannya menjuntai ke pekarangan rumah kami. Setiap kali angin bertiup di malam hari, buah kurma itu berjatuhan di pekarangan rumah kami.”
“Kami tergolong keluarga yang kurang mampu. Anak kami sering kelaparan. Saat mereka bangun, apa pun yang didapat dimakan begitu saja. Alasan ini yang membuat kami bergegas segera pulang sebelum mereka terbangun dari tidurnya. Kami kumpulkan buah kurma yang berceceran di pekarangan rumah, lalu kami antarkan kepada tetangga, si pemilik buah itu.”
“Suatu saat, kami agak terlambat pulang. Kami melihat dengan mata kepala sendiri, anak kami sudah terlanjur makan kurma hasil pungutannya, tampak ia sedang mengunyah kurma basah itu di mulutnya. Mengetahui hal itu, lalu jari-jari tangan kami masukkan ke mulutnya. Kami keluarkan apa pun yang ada di sana.”
“Kami katakan, 'Nak, janganlah kau permalukan ayahmu ini di akhirat kelak.' Anakku menangis, kedua pasang kelopak matanya mengalirkan air karena sangat kelaparan. Kami katakan kembali kepadanya, 'Hingga nyawamu lepas pun, aku tidak akan rela meninggalkan harta haram dalam perutmu. Seluruh isi perut yang haram itu, akan aku keluarkan dan akan aku kembalikan bersama kurma-kurma yang lain kepada pemiliknya.'”
Mendengar penuturan sahabatnya itu, mata Nabi berkaca-kaca, butiran air mata mulianya menetes. Baginda Nabi mencoba mencari tahu siapa sebenarnya pemilik pohon kurma yang dimaksud Abu Dujanah itu. Abu Dujanah pun mengatakan bahwa pohon kurma itu milik seorang laki-laki munafik.
Tanpa basa-basi, Baginda Nabi mengundang pemilik pohon kurma lalu mengatakan kepadanya, “Maukah kamu menjual pohon kurma itu kepadaku? Aku akan membelinya dengan sepuluh kali lipat pohon kurma itu kelak di surga.”
Laki-laki munafik itu menjawab dengan tegas, “Aku tak pernah berdagang dengan cara dihutangkan. Aku tidak mau menjual kecuali dengan uang tunai, bukan sekedar janji-janji.”
Lalu datanglah sahabat Abu Bakar as-Shiddiq lantas berkata, “Sudah, aku beli dengan sepuluh kali lipat pohon kurma milik Pak Fulan yang varietasnya tidak ada di kota ini (lebih bagus jenisnya).”
Si munafik pun kegirangan sembari berujar, “Kalau begitu aku jual.” Abu Bakar menyahut, “Bagus, aku beli.” Setelah sepakat, Abu Bakar langsung menyerahkan pohon kurma itu kepada Abu Dujanah. Kemudian Nabi bersabda, “Wahai Abu Bakar, aku yang menanggung gantinya untukmu.” Mendengar sabda Nabi itu, Abu Bakar bergembira, begitu pula Abu Dujanah. Sedangkan si munafik berjalan mendatangi istrinya lalu mengisahkan apa yang baru saja dialaminya.
“Aku telah mendapat untung banyak hari ini. Aku dapat sepuluh pohon kurma yang lebih bagus. Padahal kurma yang aku jual itu masih tetap berada di pekarangan rumahku. Akulah yang akan memakan buah-buahnya dan tidak akan pernah aku berikan kepada tetangga kita itu sedikit pun.”
Pada malam harinya saat si munafik tidur dan terbangun di waktu pagi, tiba-tiba pohon kurma yang sudah dijual itu berpindah posisi menancap kokoh di tanah pekarangan rumah Abu Dujanah, seolah-olah tak pernah tumbuh di atas tanah milik si munafik. Tempat asal pohon itu tumbuh, rata dengan tanah. Ia terperangah dan terheran-heran. Inilah salah satu mukjizat Nabi yang langsung dirasakan oleh sahabat Abu Dujanah. (Abu Bakar bin Muhammad Syatha Al-Dimyati, I’anah al-Thalibin, Juz 3, hal. 252., Abdurrahman Al-Shafuri, Nuzhah al-Majalis wa Muntakhab al-Nafais,Juz 1 hal. 193.).
Apel Yang Hanyut Di Sungai
Kisah berikutnya saya copaskan dari Republika.
Pada masa akhir era Tabi’in, hidup seorang pemuda dari kalangan biasa namun saleh luar biasa. Suatu hari, pemuda yang dikisahkan bernama Tsabit bin Zutho tersebut sedang berjalan di pinggiran Kota Kufah, Irak. Terdapat sungai yang jernih dan menyejukkan di sana. Tiba-tiba, sebuah apel segar tampak hanyut di sungai itu.
Dalam kondisi yang lapar, Tsabit pun memungut apel tersebut. Rezeki yang datang tiba-tiba, sebuah apel datang tanpa diduga di saat yang tepat. Tanpa pikir panjang, ia pun memakannya, mengisi perutnya yang keroncongan. Baru segigit menikmati apel merah nan manis itu, Tsabit tersentak. Milik siapa apel ini? bisiknya dalam hati.
Meski menemukannya di jalanan, Tsabit merasa bersalah memakan apel tanpa izin empunya. Bagaimanapun juga, pikir Tsabit, buah apel dihasilkan sebuah pohon yang ditanam seseorang. '”Bagaimana bisa aku memakan sesuatu yang bukan milikku,” kata Tsabit menyesal.
Ia kemudian menyusuri sungai. Dari manakah aliran air membawa apel segar itu? Tsabit berpikir akan bertemu dengan pemilik buah dan meminta kerelaannya atas apel yang sudah digigitnya itu. Cukup jauh Tsabit menyusuri aliran sungai hingga ia melihat sebuah kebun apel. Beberapa pohon apel tumbuh subur di samping sungai. Rantingnya menjalar dekat sungai. Tak mengherankan jika buahnya sering kali jatuh ke sungai dan hanyut terbawa arus air.
Tsabit segera mencari pemilik kebun. Ia mendapati seseorang tengah menjaga kebun apel tersebut. Tsabit menghampirinya seraya berkata, “Wahai hamba Allah, apakah apel ini berjenis sama dengan apel di kebun ini? Saya sudah mengigit apel ini, apa kau memaafkan saya?” kata Tsabit sembari menunjukkan apel yang telah dimakan segigit itu.
Namun, penjaga kebun itu menjawab, “Saya bukan pemilik kebun apel ini. Bagaimana saya dapat memaafkanmu, sementara saya bukan pemiliknya? Pemilik kebunlah yang berhak memaafkanmu.” Lalu, penjaga kebun itu pun berkata, “Rumahnya (pemilik kebun apel) cukup jauh, sekitar lima mil dari sini.”
Walau harus menempuh jarak sekitar delapan kilometer, Tsabit tak putus asa untuk mencari keridaan pemilik apel. Akhirnya, ia sampai di sebuah rumah dengan perasaan gelisah, apakah si pemilik kebun akan memaafkannya. Tsabit merasa takut sang pemilik tak meridai apelnya yang telah jatuh ke sungai digigit olehnya.
Mengetuk pintu, Tsabit mengucapkan salam. Seorang pria tua, si pemilik kebun apel, membuka pintu. “Wahai hamba Allah, saya datang ke sini karena saya telah menemukan sebuah apel dari kebun Anda di sungai, kemudian saya memakannya. Saya datang untuk meminta kerelaan Anda atas apel ini. Apakah Anda meridainya? Saya telah mengigitnya dan ini yang tersisa,” ujar Tsabit memegang apel yang digigitnya.
Agak lama pemilik kebun apel itu terdiam mendengar ucapan Tsabit. Lalu, Tsabit pun tersentak ketika sang tuan rumah berkata, “Tidak, saya tidak merelakanmu, Nak.” Penasaran dengan pemilik kebun yang mempermasalahkan satu butir apel, Tsabit menanyakan apa yang harus ia lakukan agar tindakannya itu dimaafkan. “Saya tidak memaafkanmu, demi Allah, kecuali jika kau memenuhi persyaratanku,” pria tua itu menjawab.
“Persyaratan apa itu?” tanya Tsabit harap-harap cemas. “Kau harus menikahi putriku,” kata pemilik kebun yang mengagetkan Tsabit. Menikahi seorang wanita bukanlah sebuah hukuman, pikir Tsabit. “Benarkah itu yang menjadi syarat Anda? Anda memaafkan saya dan saya menikahi putri Anda? Itu adalah anugerah yang besar,” tanya Tsabit tak percaya.
Begitu terperanjatnya Tsabit ketika pemilik kebun itu berkata bahwa putrinya yang harus Tsabit nikahi merupakan wanita cacat. “Putriku itu buta, tuli, bisu, dan lumpuh. Tak mampu berjalan, apalagi berdiri. Kalau kau menerimanya maka saya akan memaafkanmu, Nak,” kata pria tua.
Syarat yang mungkin sulit masuk di akal, hukuman yang harus ditanggung Tsabit hanya karena mengigit sebutir apel yang temukan di sungai. Namun, hal yang lebih mengejutkan, Tsabit menerima syarat tersebut karena merasa tak memiliki pilihan lain. Sementara, ia tak ingin berdosa mengambil hak yang bukan miliknya. Tsabit, seorang pemuda tampan, harus menikahi wanita cacat hanya karena menemukan sebuah apel. “Datanglah ba’da Isya untuk berjumpa dengan istrimu,” kata pemilik kebun.
Malam hari usai shalat Isya, Tsabit pun menemui calon istrinya yang cacat. Ia masuk ke kamar pengantin wanita dengan langkah yang berat. Hatinya dipenuhi pergolakan luar biasa, namun pemuda gagah itu tetap bertekad memenuhi syarat sang pemilik apel. Tsabit pun mengucapkan salam seraya masuk ke kamar istrinya.
Betapa terkejutnya Tsabit ketika mendengar jawaban salam dari wanita yang suaranya lembut nan merdu. Tak hanya itu, wanita itu mampu berdiri dan menghampiri Tsabit. Begitu cantik paras si wanita, tanpa cacat apa pun di anggota tubuhnya yang lengkap. Tsabit kebingungan, ia berpikir salah memasuki kamar dan salah menemui wanita yang seharusnya merupakan istrinya yang buta, tuli, bisu, dan lumpuh.
Tak percaya, Tsabit pun mempertanyakan si gadis bak bidadari tersebut. Namun, Tsabit tidak salah, ialah putri pemilik kebun apel yang dinikahkan dengannya. “Apa yang dikatakan ayah tentang aku?” tanya si gadis mendapati suaminya mempertanyakan dirinya seolah tak percaya.
“Ayahmu berkata kau adalah seorang gadis buta,” kata Tsabit.
“Demi Allah, ayahku berkata jujur, aku buta karena aku tidak pernah melihat sesuatu yang dimurkai Allah,” jawab si gadis membuat Tsabit kagum.
“Ayahmu juga berkata bahwa kau bisu,” ujar Tsabit masih dalam nada heran.
“Ya benar, aku tidak pernah mengucapkan satu kalimat pun yang membuat Allah murka,” kata si gadis.
“Tapi, Ayahmu mengatakan, kamu bisu dan tuli,” lanjut Tsabit.
“Ayahku benar, demi Allah. Aku tidak pernah mendengar satu kalimat pun, kecuali di dalamnya terdapat rida Allah,” jawab gadis cantik itu.
“Tapi, ayahmu juga bilang bahwa kau lumpuh,” pertanyaan terakhir Tsabit.
“Ya, ayah benar dan tidak berdusta. Aku tidak pernah melangkahkan kakiku ke tempat yang Allah murkai,” ujar si gadis membuat Tsabit begitu terpesona.
Tsabit memandangi istrinya yang cantik jelita itu. Ia pun mengucapkan syukur. Sang pemilik kebun kagum dengan sifat kehati-hatian Tsabit dalam memakan sesuatu hingga jelas kehalalannya. Melihat kegigihan dan kesalehan Tsabit, ia pun berkeinginan menjadikannya menantu, menikahkannya dengan putrinya yang shalihah.
Dari pernikahan tersebut, lahir seorang ulama shalih, mujadid yang sangat terkenal, yakni Nu’man bin Tsabit atau yang lebih dikenal dengan nama Al-Imam Abu Hanifah. Bersama istrinya yang shalihah, Tsabit mendidik putranya menjadi salah satu imam besar dari empat madzab.
Kisah pemuda yang bukan lain adalah ayah dari Imam Abu Hanifah tersebut terdapat dalam kitab terkenal Al-Aghani karya Abu Al-Faraj Al-Isbahani. Buku terkenal dalam kesusastraan Arab tersebut berisi tentang sajak lagu serta informasi biografi dari tokoh-tokoh Islam terdahulu, para tabi’in dan tabi’it tabi'in di masa Dinasti Umayyah dan Abbasiyyah.