Kompetisi atau Kolaborasi?
Ada 2 kelompok guru. Yang pertama adalah yang percaya bahwa persaingan adalah penting, yang ke dua adalah yang menghindari persaingan dan lebih memilih kerja kelompok. Mana yang benar?

Sebagai seorang guru SMK yang mengajar mata pelajaran komputer, saya sering dihadapkan pada pertanyaan: bagaimana cara terbaik untuk memotivasi murid dalam belajar? Apakah dengan menciptakan persaingan agar mereka berlomba menjadi yang terbaik, ataukah dengan mengedepankan kolaborasi agar mereka belajar bekerja sama? Jawabannya, menurut saya, tidak harus hitam atau putih. Kita bisa menemukan keseimbangan antara keduanya, dengan tetap mempertimbangkan kebutuhan dan dinamika murid di era modern ini.
Saya adalah salah seorang guru yang menyarankan agar karya-karya murid dipajang —misalkan di dinding kelas atau dikirim ke grup Telegram kelas— agar dapat dilihat oleh teman-temannya. Tujuannya sederhana: saya ingin murid merasa bangga dengan hasil kerja mereka, sekaligus menciptakan ruang bagi mereka untuk saling belajar dari satu sama lain. Bukankah salah satu motivasi anak-anak gemar bermain game daring (misalkan PUBG atau Mobile Legends) adalah karena kompetisi yang menampilkan peringat mereka di antara pemain-pemain yang lain? Namun ada kritikan untuk pendekatan ini. Menurutnya, memamerkan karya murid bisa memalukan bagi mereka yang belum terampil, dan bahwa zaman sekarang sudah seharusnya kita menghilangkan persaingan, menggantinya dengan semangat kerjasama.
Saya memahami kekhawatiran tersebut. Memang, persaingan yang tidak sehat bisa menciptakan tekanan berlebihan dan merugikan murid yang belum percaya diri. Namun, saya juga percaya bahwa persaingan —jika dikelola dengan baik— bisa menjadi alat motivasi yang efektif. Persaingan sehat mendorong murid untuk terus berkembang, mengasah keterampilan, dan berani menunjukkan potensi terbaik mereka.
Saya teringat pada pendapat Pavel Durov (pendiri Telegram). Menurut beliau, kemenangan dan kekalahan adalah dua sisi dari koin yang sama. Jika anda menghilangkan yang kalah, anda juga menghilangkan yang menang.
Di sisi lain, saya juga menyadari pentingnya kolaborasi. Dunia kerja saat ini menuntut kemampuan untuk bekerja dalam tim, berkomunikasi dengan baik, dan saling mendukung. Namun, tantangannya adalah memastikan bahwa kerja kelompok tidak dimanfaatkan oleh murid yang malas untuk sekadar "menumpang" nilai tanpa berkontribusi.
Lalu, bagaimana kita bisa menyeimbangkan kedua pendekatan ini?
Pertama, kita bisa memajang karya murid tanpa menciptakan hierarki "terbaik" atau "terburuk". Alih-alih memberi label, kita bisa fokus pada proses dan perkembangan. Misalnya, dengan menulis catatan seperti, "Lihat bagaimana karya ini menunjukkan kreativitas dalam penggunaan warna!" atau "Karya ini mencerminkan riset mendalam tentang teknik shading." Dengan cara ini, murid merasa dihargai tanpa merasa dibanding-bandingkan.
Kedua, kita bisa menggabungkan elemen kompetisi dan kolaborasi dalam tugas-tugas. Misalnya, setelah murid menyelesaikan tugas individu, mereka bisa membentuk kelompok kecil untuk saling memberikan masukan. Ini tidak hanya melatih keterampilan teknis, tetapi juga mengajarkan mereka untuk memberikan umpan balik yang konstruktif dan menerima kritik dengan lapang dada.
Ketiga, untuk mengatasi masalah "free riders" (murid santai yang menumpang mendapat nilai dengan hanya membantu doa) dalam kerja kelompok, kita bisa mendesain tugas dengan akuntabilitas yang jelas. Setiap anggota kelompok harus memiliki peran spesifik, dan penilaian tidak hanya berdasarkan hasil akhir, tetapi juga kontribusi individu. Teknologi seperti Google Docs atau Trello bisa membantu melacak kontribusi masing-masing murid.
Terakhir, yang paling penting adalah menciptakan budaya kelas yang aman dan supportif. Kita perlu menormalisasi kegagalan sebagai bagian dari proses belajar. Misalnya, dengan memajang draft kasar atau karya yang "belum sempurna" dan memberi catatan: "Ini adalah proses belajar kita!" Kita juga bisa memberikan pilihan kepada murid apakah mereka ingin karyanya dipajang atau tidak, sehingga mereka merasa dihargai tanpa merasa terpaksa.
Saya percaya bahwa pendidikan di era modern tidak harus memilih antara kompetisi atau kolaborasi. Keduanya bisa saling melengkapi. Persaingan sehat mendorong inovasi dan keunggulan, sementara kolaborasi melatih empati dan keterampilan sosial. Sebagai guru, tugas kita adalah menciptakan lingkungan belajar yang memungkinkan murid untuk berkembang secara holistik (menyeluruh) —baik sebagai individu maupun sebagai bagian dari tim.
Pada akhirnya, tujuan kita bukan hanya mencetak murid yang terampil secara teknis, tetapi juga membentuk pribadi yang percaya diri, tangguh, dan mampu bekerja sama dengan orang lain. Dengan pendekatan yang seimbang, saya yakin kita bisa mencapai tujuan tersebut.
Mawan A. Nugroho, M.Kom