Masuk Sekolah Jangan Diseleksi?
Seleksi sekolah sering dianggap tidak adil. Tapi, jika tidak ada seleksi, bagaimana memilih dari 2000 pendaftar untuk 500 kursi? Apakah zonasi atau waktu pendaftaran lebih adil? Justru, seleksi alamiah mendorong kompetisi sehat. Baca selengkapnya mengapa seleksi penting dalam pendidikan!

Saya sering mendengar ide seperti ini, "Masuk sekolah jangan diseleksi. Terima saja."
Itu bagus. Pertanyaannya: Kalau daya tampung sekolah hanya 500 orang tapi yang mendaftar 2000 orang, solusinya bagaimana?
Yang diterima apakah yang mendaftar paling cepat? Atau berdasarkan jarak tempuh dari rumah ke sekolah? Bukankah ini juga namanya seleksi, tapi bukan berdasarkan kecerdasan. Ini seleksi berdasarkan waktu dan jarak. Yang berkompetisi bukan calon murid, tapi orang tuanya!
Lucunya, ketika seleksi didasarkan pada kecerdasan, banyak yang ribut bilang “tidak adil”. Tapi kalau seleksi didasarkan zonasi atau waktu, tiba-tiba semua diam. Padahal tetap ada yang ditolak. Lalu keadilan itu sebenarnya untuk siapa?
Seleksi akademik sering dikritik sebagai “tidak adil”, tetapi zonasi pun menciptakan ketidakadilan baru. Keadilan sejati terletak pada sistem yang memungkinkan siapa pun —kaya atau miskin— meraih kesempatan berdasarkan usaha dan potensi.
Murid SMA yang ingin diterima di perguruan tinggi, dia mati-matian belajar agar lolos seleksi. Rasa takut itu kadang penting, karena dapat menjadi motivasi untuk belajar bersungguh-sungguh. Apa jadinya bila masuk perguruan tinggi juga tidak diseleksi tapi berdasarkan siapa yang mendaftar duluan atau berdasarkan zonasi. Pasti tidak ada lagi murid yang belajar bersungguh-sungguh dengan motivasi agar diterima di perguruan tinggi.
Bagaimana dengan anak-anak dari keluarga kurang mampu? Kan ada jalur afirmasi dengan kuota sekian persen. Saya pikir, sistem penerimaan calon mahasiswa baru di Perguruan Tinggi adalah yang paling baik. Sistem ini mencakup segala keadaan, yaitu untuk murid yang cerdas, murid yang berpestasi, afirmasi, dan untuk orang kaya.
Duh... 🤦♂️
Ini cerminan sistem yang terlalu memanjakan.
Seleksi bukanlah hal buruk. Bahkan Bumi ini menjadi indah dengan segala aneka tumbuhan dan binatang, adalah juga hasil dari seleksi alam. Siapa yang lebih unggul dan cepat beradaptasi itulah yang akan mampu terus bertahan.
Di Amerika Serikat, SMA Negeri yang melakukan seleksi (bahkan sangat sulit ditembus karena acceptance rate-nya kecil) contohnya adalah:
- Hunter College High School ➡️ 3%-4%.
- Stuyvesant High School ➡️ 4%.
- Bronx High School of Science ➡️ 5%-6%.
- Thomas Jefferson High School for Science and Technology (TJHSST) ➡️ 7%.
Hunter College High School di New York City adalah salah satu sekolah paling selektif; untuk bisa diterima masuk, calon murid harus memperoleh skor tinggi dalam tes masuk saat masih kelas 6.
Di China, bahkan SMA negeri pun melakukan seleksi ketat. Salah satu yang paling sulit ditembus adalah The High School Affiliated to Renmin University of China (RDFZ - 人大附中).
Mau tahu sesulit apa? RDFZ kerap dijuluki sebagai "Harvard-nya SMA di China". Banyak lulusannya diterima di universitas top seperti Tsinghua, Peking University, hingga universitas Ivy League di Amerika Serikat. Setiap tahun, puluhan ribu calon murid bersaing untuk masuk, namun hanya beberapa ratus yang diterima. Ujian seleksi mencakup Matematika, Bahasa Mandarin, Bahasa Inggris, dan Sains, dengan tingkat kesulitan yang sering kali setara soal universitas top. Tak sedikit dari calon murid yang lolos adalah peraih medali di olimpiade sains atau matematika tingkat provinsi maupun nasional.
Jepang menerapkan sistem yang juga sangat kompetitif, terutama saat masuk SMA dan universitas. Untuk masuk ke SMA negeri unggulan seperti Tokyo Metropolitan Hibiya High School atau Nada High School, murid harus mengikuti ujian masuk tingkat prefektur yang soalnya sangat menantang. Persaingan sangat ketat, karena sekolah-sekolah ini punya reputasi kuat dalam meluluskan muridnya ke universitas top seperti Tokyo University dan Kyoto University. Bahkan di jenjang SMP, sudah banyak yang ikut juku (bimbingan belajar) hingga malam hari demi lolos seleksi. Semangat belajar dan budaya kerja keras menjadi fondasi kuat sistem pendidikan mereka.
Di Eropa, pendekatannya sedikit berbeda. Swedia, misalnya, memang tidak sekompetitif China atau Amerika Serikat, tapi tetap ada seleksi. Murid harus mendaftar ke SMA (Gymnasieskola) sesuai jurusan yang dipilih, dan sekolah-sekolah favorit akan menerima murid berdasarkan nilai terbaik saat lulus SMP. Jadi, meskipun tidak ada ujian masuk, tetap ada persaingan. Dan di kota besar seperti Stockholm, untuk bisa masuk sekolah seperti Kungsholmens Gymnasium atau Norra Real, murid harus punya nilai nyaris sempurna.
Finlandia juga terkenal dengan sistem pendidikannya yang humanis dan minim tekanan. Tapi jangan salah, meski tanpa bimbel dan ujian masuk yang berat, murid-muridnya tetap rajin belajar karena budaya akademik dan literasi yang tinggi sudah ditanamkan sejak dini. SMA dengan reputasi bagus tetap diperebutkan, dan seleksi tetap terjadi — hanya saja dengan pendekatan yang lebih tenang, tidak se-"brutal" seperti di China.
Jerman punya sistem pendidikan yang memisahkan jalur murid sejak kelas 4 SD. Murid dengan nilai tinggi biasanya diarahkan ke Gymnasium, jalur yang mempersiapkan mereka ke universitas. Ini berarti, seleksi sudah dimulai sejak usia 10 tahun. Sekolah-sekolah Gymnasium terbaik di kota besar seperti München atau Hamburg juga menetapkan standar tinggi dan hanya menerima murid dengan prestasi akademik terbaik. Bedanya dengan sistem zonasi, di sini yang dipertimbangkan adalah kemampuan, bukan alamat rumah.
Bagaimana dengan negara-negara di Timur Tengah? Di banyak negara seperti Arab Saudi, Uni Emirat Arab, dan Qatar, SMA negeri untuk warga lokal umumnya tidak melakukan seleksi yang ketat. Salah satu alasannya adalah karena rasio antara jumlah sekolah dan jumlah calon murid masih cukup seimbang, terutama untuk warga negara. Dengan kata lain, tidak terjadi kelebihan pendaftar secara ekstrem seperti yang kerap terjadi di kota-kota padat di negara lain. Selain itu, pendidikan dasar hingga menengah merupakan hak warga negara yang dijamin oleh negara, sehingga sistemnya lebih menekankan pada akses merata daripada kompetisi.
Namun, sekolah-sekolah swasta dan internasional di sana — terutama yang menggunakan kurikulum British, IB, atau American — menerapkan seleksi masuk yang serius, lengkap dengan tes akademik, wawancara, serta bukti kemampuan bahasa Inggris. Di kota-kota besar seperti Dubai, Riyadh, dan Doha, sekolah-sekolah elit ini diperebutkan oleh keluarga ekspatriat dan lokal yang ingin anaknya melanjutkan ke universitas top dunia. Di lingkungan seperti ini, sekolah bukan lagi sekadar tempat belajar, melainkan batu loncatan menuju jenjang pendidikan dan karier internasional.
Seleksi ketat dalam dunia pendidikan menciptakan lingkungan yang memacu keunggulan. Di negara-negara seperti Amerika Serikat dan China, proses seleksi yang kompetitif sejak usia muda telah melahirkan generasi yang sangat terlatih, tahan uji, dan berpola pikir ilmiah.
Amerika Serikat menjadi pelopor dalam teknologi luar angkasa, menciptakan inovasi seperti roket SpaceX, misi ke Mars, serta chipset canggih yang digunakan di berbagai perangkat pintar di seluruh dunia.
Sementara itu, China, dengan kecepatan dan efisiensi pendidikannya, mampu melahirkan insinyur dan pengembang yang mendesain sistem operasi seperti HarmonyOS, yang dikembangkan hanya dalam hitungan tahun — sebuah pencapaian luar biasa di tengah tekanan global. Anda tahu DeepSeek? Itu pun buatan China.
Citius, Altius, Fortius.
Semua makhluk hidup —baik manusia, hewan, maupun tumbuhan— terlibat dalam kompetisi. Kompetisi melahirkan generasi yang terseleksi, generasi terbaik. Ia bukanlah sesuatu yang buruk. Justru, kompetisi penting bagi kelangsungan keturunan kita dan kemajuan bangsa.
Murid-murid harus diajarkan tentang kompetisi sejak masih sekolah karena nanti bekerja pun harus melalui seleksi, bukan melalui orang dalam.
Zonasi tidak selalu buruk. Untuk SD dan SMP justru sebaiknya diberlakukan sistem zonasi agar anak-anak tidak perlu menempuh jarak jauh untuk bersekolah. Hal terpenting adalah memastikan jumlah SD Negeri dan SMP Negeri mencukupi, seperti di negara-negara Timur Tengah. Jika jumlah peminat melebihi kapasitas sekolah, sebaiknya dialokasikan persentase tertentu untuk jalur zonasi dan sebagian lainnya untuk jalur seleksi akademik. Dengan demikian, kompetisi dan semangat belajar tetap dapat terpelihara. Ini adil untuk semuanya. Adil untuk warga sekitar dan adil untuk murid yang telah bersusah payah belajar. Murid-murid berprestasi ini layak diberi penghargaan.
Untuk mengatasi masalah kelebihan peminat tersebut, lebih baik kita berusaha membangun sekolah-sekolah baru di tempat yang persaingannya ketat, agar makin banyak murid yang diterima.
Langkah lain yang perlu dilakukan adalah membangun sekolah-sekolah unggulan di tiap provinsi. Contoh: SMA Taruna Nusantara di Magelang, yang menerima murid berbakat dari seluruh Indonesia.
Selain itu, penting juga untuk meningkatkan kualitas pendidikan dengan menyejahterakan guru-gurunya. Bila guru makin sejahtera, maka makin banyak pula yang berminat menjadi guru. Hal ini akan menciptakan proses seleksi yang lebih ketat sehingga didapatlah guru-guru baru dengan kualitas lebih baik.
Mengapa lulusan top 10% universitas mau menjadi guru? Karena profesi guru di sana dihargai setara dengan dokter atau insinyur, baik dari segi gaji, martabat, maupun peluang pengembangan karir. Pemerintah Finlandia memberikan gaji awal guru sekitar €3.500-€4.000 per bulan (Rp 60-70 juta), ditambah jaminan pensiun yang memadai. Ini melebihi gaji rata-rata pegawai bank atau programmer pemula. Selain itu, guru memiliki otonomi penuh untuk merancang kurikulum dan metode pembelajaran tanpa intervensi birokrasi. Mereka dipercaya sebagai ahli di bidangnya, bukan sekadar ‘pelaksana atasan’.
Mawan A. Nugroho, M.Kom