Parkir Liar: Normalisasi Kecil Yang Menyimpang
Parkir gratis tapi tetap dimintai uang? Fenomena juru parkir liar tak hanya soal receh, tapi soal etika, hukum, dan kebiasaan salah yang terus dinormalkan. Apakah memberi uang kepada mereka bisa dibenarkan? Temukan jawabannya dalam tulisan ini.

Dalam ajaran Islam, setiap transaksi jual beli, termasuk jasa, harus diawali dengan akad yang jelas dan disetujui oleh kedua belah pihak. Ini mencerminkan prinsip keadilan, transparansi, dan kerelaan (عَنْ تَرَاضٍ) dalam bermuamalah. Namun, mengapa masih ada oknum juru parkir liar yang tiba-tiba menagih uang tanpa adanya kesepakatan sebelumnya?
Allah SWT berfirman:
"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku atas dasar suka sama suka di antara kamu..."
— QS. An-Nisa: 29
Semua detail harus dijelaskan di awal. Misalnya: “Saya jaga kendaraan Anda sampai selesai belanja, biayanya Rp2.000.” Pemilik kendaraan setuju. Jika tidak dilakukan di awal, maka termasuk gharar dan bisa membuat transaksi itu tidak sah secara syariat.
Saya pernah memarkir kendaraan di depan Indomaret yang secara terang-terangan memasang tulisan "Parkir Gratis", tetapi saat hendak pergi, muncul seseorang yang meminta uang parkir seolah-olah saya telah memakai jasanya dan saya wajib membayar. Jasa apa? Saya tidak meminta penjagaan atau bantuan apapun darinya.
Yang lebih menggelikan, istri saya masuk ke dalam Indomaret sementara saya tetap duduk di atas sepeda motor—itu pun dimintai bayaran. Ini bukan soal uang dua ribu rupiah. Ini soal pemaksaan, manipulasi situasi, dan ketidaktertiban sosial yang dibiarkan.
Memang tidak semua juru parkir seperti itu. Saya pernah bertemu dengan juru parkir yang sopan dan ramah. Beliau tidak meminta uang duluan. Bila diberi, barulah beliau menerima.
Perspektif Hukum
Dalam hukum Indonesia, praktik parkir liar ini melanggar ketentuan Peraturan Daerah dan Undang-undang, antara lain:
- UU No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, Pasal 275 menyebutkan bahwa penggunaan badan jalan untuk kegiatan yang mengganggu fungsi jalan, termasuk parkir tidak resmi, dapat dikenakan sanksi pidana dan denda.
- Di banyak kota besar, parkir resmi diatur dalam Peraturan Daerah (Perda) dan hanya boleh dilakukan oleh petugas parkir resmi dengan identitas dan karcis yang jelas.
Parkir liar bukan sekadar ketidaktertiban kecil, tapi mencerminkan kerapuhan penegakan hukum dan lemahnya kontrol sosial.
Perspektif Sosial dan Moral
Masalah ini bukan sekadar soal "uang receh", tetapi menyangkut prinsip kejujuran, etika, dan kebiasaan yang dibentuk oleh masyarakat itu sendiri. Ketika kita memberikan uang kepada tukang parkir liar "karena kasihan" atau "biar cepat pergi", sebenarnya kita sedang menormalkan pemalakan dalam skala mikro.
Sebagian orang mengatakan, "Anggap saja sedekah." Tapi logikanya keliru. Bersedekah tidak berarti membenarkan perilaku menyimpang. Jika niatnya bersedekah, lebih baik uang itu dimasukkan ke kotak amal panti asuhan atau masjid, yang jelas penggunaannya dan tidak menimbulkan beban sosial baru bagi orang lain.
Tindakan memberi uang ke tukang parkir liar justru menciptakan efek domino sosial: orang berikutnya jadi merasa "terpaksa memberi", apalagi jika situasinya dibuat tidak nyaman atau bahkan intimidatif. Maka niat baik itu bisa berubah menjadi partisipasi dalam pelestarian ketidakberesan.
Contoh Lain yang Dinormalkan
Fenomena parkir liar hanyalah salah satu dari sekian banyak praktik keliru yang dianggap "biasa":
- Premanisme berkedok uang keamanan: Banyak pemilik toko dan warung di kota besar harus membayar 'uang keamanan' secara rutin kepada oknum preman. Ini pemalakan terstruktur yang mengandalkan ketakutan dan pembiaran.
- Pengamen keliling: Di banyak negara seperti Singapura, Jepang, dan Korea Selatan, pengamen dilarang mengamen secara bergerak, apalagi yang memaksa penumpang untuk memberi. Hanya pengamen yang memiliki izin dan menetap di satu lokasi (stationary busker) yang diperbolehkan—dan itu pun harus tunduk pada aturan kebisingan dan ketertiban umum.

Penutup dan Solusi
Mari berhenti menormalkan yang salah, meski tampaknya sepele. Kesalahan tetaplah kesalahan. Jangan dibenarkan dengan ucapan, "Hanya Rp2.000, tidak akan membuatmu miskin." Mungkin uang itu tak berarti bagi kita, tapi membiarkannya mengakar adalah bentuk kegagalan kita menjaga akal sehat sosial.
Kita perlu menyadarkan masyarakat bahwa membayar pada parkir liar bukan hanya tidak wajib, tetapi juga memperkuat praktik yang salah.
Salah satu solusi yang dapat diterapkan adalah kolaborasi antara pemilik toko dan juru parkir liar. Daripada membiarkan mereka beroperasi secara ilegal dan meresahkan pelanggan, pemilik toko dapat mengangkat mereka sebagai pegawai resmi—misalnya sebagai petugas keamanan atau penjaga parkir—tanpa menarik biaya parkir dari pelanggan. Dengan begitu, pelanggan tetap merasa nyaman, si juru parkir mendapat pekerjaan yang sah, dan ketertiban umum pun terjaga.
Solusi lainnya, juru parkir dapat menyiapkan kotak apresiasi dengan tulisan seperti ini:
Pendekatan ini mirip dengan pengamen yang menetap di satu tempat — tidak mendatangi orang satu per satu, tetapi memberi kebebasan bagi siapa pun untuk memberi atau tidak.
Pemerintah daerah juga harus aktif menertibkan parkir liar dan membuka lapangan kerja resmi sebagai petugas parkir atau pengelola ketertiban lingkungan.
Lihat juga: