Pendidikan Tidak Menjamin Seseorang Menjadi Baik?

Hanya karena ada satu orang doktor (S3) yang mencetak uang palsu, ada orang yang berkata. "Pendidikan tidak menjamin seseorang menjadi baik. Buktinya ada doktor yang membuat uang palsu triliunan rupiah." Benarkah pendapatnya?

Pendidikan Tidak Menjamin Seseorang Menjadi Baik?
Ilustrasi mesin pencetak uang palsu.


Saya pikir itu kesimpulan keliru yang ditarik oleh orang yang kurang pendidikan. Dia mencoba menarik kesimpulan umum berdasarkan satu kasus spesifik.

Mengatakan bahwa pendidikan tidak menjamin kebaikan hanya karena satu orang terdidik berbuat buruk adalah seperti berkata, "Semua pisau berbahaya" hanya karena ada satu kasus orang terluka oleh pisau. Kesimpulan itu tidak logis karena tidak melihat gambaran besar dan data secara keseluruhan.

Pernyataan tersebut juga secara implisit menyiratkan bahwa pendidikan bertanggung jawab atas moralitas seseorang. Padahal, moralitas seseorang dipengaruhi oleh banyak faktor lain, seperti lingkungan, keluarga, pengalaman hidup, dan nilai-nilai pribadi, bukan hanya pendidikan formal.

Mayoritas orang yang mendapatkan pendidikan cenderung memperoleh keterampilan dan wawasan yang membantu mereka menjadi anggota masyarakat yang lebih baik.

Ini hanyalah salah satu contoh tentang hasty generalization atau penarikan kesimpulan umum yang terburu-buru hanya karena satu kasus.

Di dalam kehidupan sehari-hari, kita sering menemui orang yang berkata, "Pendidikan tinggi tidak menjamin kesuksesan di masa depan" kemudian mengambil contoh orang yang hanya sekolah sampai SD tapi dapat menjadi orang sukses yang kaya raya.

Pendapat itu tentu saja berbahaya bila di-"iya"-kan oleh orang-orang pemalas yang tidak mau belajar, kemudian mereka berprinsip, "Muda hidup gembira, dewasa hidup santai, tua kaya raya, dan mati masuk Surga." Ah, mau dibawa ke mana bangsa ini bila orang-orangnya berprinsip seperti itu?

Memang benar, ada beberapa orang yang sukses tanpa pendidikan tinggi. Tetapi, kita lupa bahwa mereka adalah pengecualian, bukan aturan. Mereka berhasil bukan karena kurangnya pendidikan, tapi karena kerja keras, keberanian mengambil risiko, dan mungkin juga sedikit keberuntungan. Kalau semua orang mengandalkan "faktor hoki" saja tanpa usaha dan ilmu, apakah mungkin semua akan berhasil? Dunia ini tidak bekerja seperti itu.

Pendidikan bukan cuma soal gelar, tapi soal membuka pikiran, memperluas wawasan, dan mengasah kemampuan berpikir kritis. Orang yang berpendidikan tinggi bukan berarti dijamin sukses, tapi mereka punya lebih banyak peluang untuk mencapainya. Bagaimana mungkin seseorang bisa bersaing di dunia yang penuh tantangan kalau mereka bahkan tidak punya bekal ilmu dasar?

Lagi pula, pendidikan itu bukan hanya untuk mencari uang atau jadi kaya raya. Ada nilai-nilai lain yang ditanamkan, seperti tanggung jawab, kejujuran (integritas), dan kemampuan untuk berkontribusi kepada masyarakat. Kalau semua orang cuma mengejar kekayaan tanpa peduli bagaimana cara mencapainya, apakah itu bisa disebut sukses sejati?

Jadi, alih-alih menyepelekan pentingnya pendidikan, bukankah lebih baik kita belajar menghargai prosesnya? Jangan hanya melihat hasil akhir, lihat juga usaha yang dibutuhkan untuk mencapainya. Pendidikan itu seperti fondasi rumah—mungkin tidak terlihat, tapi tanpa fondasi yang kokoh, rumah sebesar apapun akan roboh.

Kalau prinsip "santai-santai tapi kaya" terus diterapkan, mungkin kita harus bertanya: apakah kita sedang membangun bangsa yang siap bersaing di masa depan, atau hanya menciptakan generasi pemimpi yang tidak siap menghadapi realita?

Mawan A. Nugroho.