Zonasi
Di lini masa Facebook, saya membaca salah satu status dari teman yang mengeluh karena anaknya menjadi korban zonasi. Jiwa menulisku pun berontak. Maka jadilah artikel ini.
Salah satu motivasi murid belajar keras agar pintar adalah supaya bisa diterima di sekolah negeri favorit. Itu dulu, di zamanku. Saya bisa diterima di SMAN 1 Tangerang padahal rumah saya di Asrama Batalyon 203 Jataké yang berjarak 6½ km.
Dulu ada NEM. Nilai saya besar. Murid-murid SMAN 1 Tangerang terkenal pintar-pintar. Istilahnya, yang di SMPnya juara umum, ngumpul di SMAN 1 Tangerang.
Kalau saya lahir di tahun 2007, mungkin saya tidak bisa diterima di SMAN 1 Tangerang akibat kalah zonasi.
Kata orang yang kesal karena anaknya tidak diterima akibat kalah zonasi: "Sekarang murid tidak perlu semangat belajar. Untuk bisa diterima di sekolah negeri nggak perlu pintar. Yang penting rumahnya dekat. Kalau perlu, témbok rumahnya némpél dengan témbok sekolah incaran. Murid yang di kelas tidur melulu pun pasti diterima di sekolah umum negeri (SD, SMP, SMA)."
Teman saya —yang rumahnya jauh ke mana-mana— akhirnya menyekolahkan anaknya di sekolah swasta yang tidak gratis.
Kompetisi sekarang bukan siapa yang paling pintar, tapi siapa yang rumahnya paling dekat. Masalahnya, di tempat kerja tidak begitu. Yang pintarlah yang cepat promosi jabatan. Padahal di China, ujian nasional sangat ketat. Murid-murid di China harus belajar keras. Maka tak héran orang-orang China bisa bekerja di berbagai negara, bahkan sampai di perusahaan besar Amérika Serikat seperti Google dan Microsoft.
Untungnya SMK Negeri tidak ada zonasi. SMK Negeri masih memakai nilai sebagai salah satu syarat diterima. Harusnya SMK Negeri favorit isinya murid-murid pintar dong. Iya, itu téori. Tapi entah mengapa, di SMK Negeri favorit pun ditemui satu atau dua murid yang suka tidur di kelas. Lho kok bisa? Mari kita bertanya pada rumput yang bergoyang.
Saran saya, kalau suka tidur di kelas lebih baik jangan memaksakan diri masuk ke SMK Negeri, apa lagi di jurusan favorit. Kasihan, jadi bahan gosip teman-teman sekelasnya. Tapi kalau masuk SMA Negeri juga jadi bahan gosip. Rumahnya jauh kok bisa diterima? Bisa saja. Kan ada jalur préstasi. Tapi berpréstasi kok tidur melulu di kelas? Hahaha... Au ah. Pusing mikirin yang begini. Mendingan ngopi dulu yuk.
BISA DIUBAH
Saya adalah Ketua Jurusan DKV (dulu bernama MM) di suatu SMK Negeri yang paling banyak pendaftarnya ketika PPDB. Ini adalah jurusan paling favorit. Passing grade-nya paling besar.
Di hari-hari pertama belajar, saya berusaha menanamkan kesadaran diri pada para murid DKV bahwa meréka harus beradaptasi dengan lingkungan barunya. Perilaku buruk di SMPnya dulu, di sini harus diubah menjadi lebih baik. "Jangan membuat malu dirimu dan orang tuamu," begitu kira-kira pesannya.
Menumbuhkan kesadaran diri mémang sulit, apa lagi untuk menumbuhkan Student Agency (Kemandirian Murid). Ada beberapa yang bisa dilakukan guru agar murid-murid di kelasnya makin baik.
- Komunikasi yang éféktif. Murid menjadi berperilaku négatif ketika merasa tidak diperhatikan oléh gurunya. Bila ada murid yang sering tidur di kelas, maka guru harus lebih sering duduk di sampingnya, menanyakan mengapa dia malas-malasan, dan meyakinkan bahwa materi yang diajarkan adalah penting dan bermanfaat bagi dirinya.
- Tetapkan tujuan belajar yang jelas dan beri tantangan sesuai kemampuan murid. Pelajaran yang membingungkan akan membuat murid merasa tersiksa mengikuti pelajaran tersebut. Berikan tantangan-tantangan yang mudah lebih dulu, yang pasti bisa dikerjakan. Setelah itu tambahkan sedikit tantangan yang lebih sulit. Sering terjadi, guru favorit adalah guru Matématika. Mengapa? Karena guru tersebut mampu menkondisikan materi sulit menjadi materi yang menyenangkan.
- Belajar berkelompok dengan anggota kelompok yang berubah-ubah. Ini cukup éféktif menularkan semangat belajar dari murid rajin dan cerdas ke murid yang santai. Bukankah ada pepatah, "Bergaul dengan penjual minyak wangi, maka pakaian kita pun akan ikut wangi." Pastikan bahwa murid yang selow tidak dikucilkan oleh teman-teman kelompoknya.
- Pada kasus-kasus tertentu, orang tua harus dilibatkan. Keterlibatan di sini bukan hanya pada murid yang malas sehingga orang tuanya dipanggil ke sekolah, tapi juga pada kasus lain yang positif misalkan anaknya berpréstasi membuat gambar atau animasi yang bagus. Ini akan makin menguatkan motivasi instrinsiknya, yaitu kepuasan dan kesadaran dari dalam diri untuk lebih baik lagi, tanpa mengharap imbalan dari luar. Énérgi positif ini akan menular pada teman-teman sekelasnya, termasuk yang suka tidur di kelas.
Menjadi guru mémang tidak semudah yang dibayangkan orang awam. Tugas guru adalah membimbing setiap muridnya agar tumbuh dan berkembang menjadi vérsi terbaik dari dirinya, sehingga tidak ada lagi gosip tentang murid yang tidur melulu tapi kok bisa diterima di SMK dan jurusan favorit?
Oké. Kembali lagi ke zonasi. Apakah zonasi itu bagus? Mari ambil sisi positifnya, dan jadikan kelebihan-kelebihan dari sistem zonasi untuk membuat rencana ke depan yang lebih baik. Kalau kata para pujangga, "Jangan sesali apa yang telah terjadi, tapi upayakan bagaimana nasi yang telah menjadi bubur bisa menjadi bubur yang tak kalah lezatnya dengan nasi uduk."
Zonasi menciptakan suasana kelas yang héterogén, yang berarti murid berasal dari berbagai latar belakang. Zonasi juga membuat jarak ke sekolah menjadi lebih dekat. Ini bisa menghémat ongkos perjalanan dan mempercepat orang tua dalam mengontrol anaknya di sekolah. Dan yang tak kalah pentingnya adalah zonasi menghapus stigma sekolah favorit, walau pun yang terakhir ini sulit tercapai secara idéal mengingat akan selalu ada perbédaan antar tiap sekolah. Tak selamanya favorit itu tentang kecerdasan murid. Ada sekolah yang terkenal ékskulnya bagus. Maka jadilah favorit. Ada sekolah yang dekat dengan lingkungan yang nyaman. Maka jadilah sekolah favorit.
Setiap kebijakan pasti ada yang diuntungkan dan ada yang menjadi korbannya. Tugas kita adalah memperkecil angka jumlah yang menjadi korban. Sekolah-sekolah swasta bisa membantu murid-murid cerdas yang rumahnya "jauh ke mana-mana" dengan memberi béasiswa sehingga belajar di sekolah swasta pun bisa dibuat nyaris tanpa biaya. Untuk meningkatkan semangat belajar dan berpréstasi, bisa dibuat agar yang mendapat béasiswa bukan hanya juara umum atau juara kelas, tapi gradasi. Misalkan: Makin tinggi peringkatnya, makin kecil biaya SPPnya.
Lagi pula, fungsi sekolah bukan hanya untuk membuat murid menjadi pintar, tapi juga tempat di mana anak-anak mendapat didikan tentang budi pekerti, bersosialisasi dengan saudara-saudara barunya di rumahnya yang ke dua (yaitu sekolah), dan mendapat pengawasan yang benar sementara kedua orang tuanya sedang sibuk bekerja di luar rumah. Lha iya dong. Dari pada anak pulang cepat kemudian keluyuran di luar rumah dengan para préman jalanan.