Tiada Disiplin Tanpa Rasa Takut

Tiada keteraturan tanpa disiplin, dan tiada disiplin tanpa rasa takut. Mengapa murid berani melawan gurunya?

Tiada Disiplin Tanpa Rasa Takut

Seorang murid SMA di Kabupatén Barito Selatan, Kalimantan Tengah, membuka baju kemudian menantang gurunya berkelahi. Masalahnya hanya karena murid itu tidak terima ditegur sang guru untuk merapikan pakaiannya.

Sebelumnya, seorang murid SMK di Purwodadi, Jawa Tengah, menantang gurunya berkelahi karena tidak senang disangka menconték.

Semua ini terjadi karena —salah satunya— di mata murid tidak ada konsékuénsi yang jelas. "Ah, paling nanti cuma dinasihati. Selesai."

Apa lagi di kalangan murid telah beredar rumor bahwa semua murid pasti naik kelas —tak terkecuali bagi yang nakal— dan murid nakal tidak bisa dikeluarkan dari sekolah kecuali mengundurkan diri.

Ditambah dengan guru-guru yang ragu bertindak karena mendengar berita tentang rekan-rekan seprofési di kota lain yang dipidanakan atau dianiaya orang tua murid.

Maka makin ke sini makin ke sana.
Makin ke sini, sekolah seolah-olah bukan lagi tempat menimba ilmu dan tempat mendidik adab, tapi sekedar tempat penitipan anak agar tidak keluyuran dan tidak tawuran di siang hari. Setelah itu lulus sesuai jadwal dengan nilai rata-rata 90 padahal itu adalah nilai kemanusiaan agar murid yang di kelas "tidur melulu" setelah lulus bisa diterima di jenjang yang lebih tinggi. Jangan sampai murid yang cerdas dan "ingin tahu" terpaksa mengambil kursus atau bimbel karena di bimbel ada sistem tidak naik grade atau tidak lulus yang memaksa murid belajar sungguh-sungguh. Bila ini terjadi, maka pendidikan formal kita gagal total.

Sistem pendidikan harus memiliki aturan dan konsékuénsi yang jelas untuk tindakan yang melanggar disiplin. Ini membantu memastikan bahwa murid-murid memahami akibat dari perilaku meréka. Juga ada panduan dan perlindungan lebih pasti kepada guru-guru dalam menegakkan disiplin.

Apakah ini berarti orang Indonésia tidak bisa dibuat disiplin?

Kabarnya, WNI yang sedang berwisata di Singapura mendadak patuh aturan. Tidak berani merokok di tempat umum, dan tidak berani membuang sampah sembarangan. Mengapa? Karena kita semua tahu bahwa di Singapura dendanya sangat besar dan tidak ada tawar menawar. Penegak hukumnya pun sulit disuap.

Sekembalinya ke tanah air, WNI itu mungkin akan kembali merokok di tempat umum dan membuang sampah sembarangan, karena melihat orang-orang di sekelilingnya melakukan hal serupa dan tidak ada konsékuénsi.

Kita mémang tidak boléh menghukum murid. Beberapa murid mungkin dibesarkan dalam lingkungan di mana otoritas tidak selalu dihormati, dan ini dapat memengaruhi cara mereka berinteraksi dengan guru. Bila suatu tindakan di lingkungannya dianggap normal kemudian di sekolah disalahkan, tentu murid ini akan memberontak. Murid kebingungan dan merasa tidak mendapat keadilan.

Karena itulah, kita juga harus mempunyai peraturan yang jelas dan tegas, yang diketahui oléh semua warga sekolah, dan dijalankan dengan konsistén. Bila seorang murid melanggar peraturan, dia bukan dihukum, tetapi harus menerima konsékuénsi atas perbuatannya. Konsékuénsi yang jelas, yang dipahami si murid sebelum dia melakukan perbuatan salahnya. Dan konsékuénsi itu harus diterapkan secara konsistén dan berlanjut. Tidak musim-musiman. Tidak angin-anginan hanya di hari Senin misalkan.

Bila murid berpakaian tidak rapi adalah salah, maka semua guru harus kompak menegur secara tegas dan terukur. Satu suara, satu tindakan. Jangan satu guru menegur, yang lain cuék atau malah berperan sebagai malaikat yang membéla si murid.

Sekali lagi: Harus konsistén! Jangan ke si A diberlakukan dengan tegas, ke si B dimaafkan. Ini tentang disiplin, bukan politik. :-)

Ibaratnya: Memaafkan dan melepas pencuri mémang baik —yaitu baik bagi si pencuri itu sendiri— tapi akan menjadi inspirasi dan motivasi buruk untuk orang lain bahwa mencuri itu "tidak apa-apa." Kabar ini akan sampai ke warga di kampung sebelah. Maka kampung sebelah pun muncul pencuri-pencuri baru.

Yang tak kalah pentingnya adalah menanamkan pemahaman yang timbul dari kesadaran diri tiap murid, bahwa mereka harus mentaati peraturan dan menghormati sesama, termasuk menghormati gurunya.

💡
Kepatuhan yang timbul dari kesadaran diri sendiri adalah yang paling baik. Ini yang idéal. Tapi kita tidak boléh mengabaikan faktor rasa takut. Tiada keteraturan tanpa disiplin, dan tiada disiplin tanpa rasa takut.

Rasa takut bisa berasal dari berbagai sumber, seperti rasa takut terhadap Tuhan, rasa takut terkena sanksi, rasa takut mengecewakan orang lain, atau rasa takut gagal. Rasa takut ini harus dijadikan motivasi untuk berbuat baik.

Rasa takut membentuk disiplin. Disiplin juga membentuk karakter dan kepribadian, serta menghilangkan kebiasaan buruk yang merugikan.

Guru yang menghormati murid-muridnya, cenderung dihormati juga oléh murid-muridnya. Kita pasti pernah melihat guru yang galak. Guru ini biasanya tidak disukai muridnya. Murid "berpura-pura" patuh hanya ketika ada guru ini.
Kita juga mungkin pernah melihat guru yang permisif. Guru ini memang disukai murid-muridnya, tapi cenderung tidak dihormati.

Maka jadilah guru yang bijak, yang sabar, jangan baperan, tapi juga disiplin serta tegas menjalankan peraturan. Ini akan menjadikan guru sebagai panutan, sekaligus dihormati murid-muridnya.

Tambahan (28 Maret 2024):

Saya tertarik pada salah satu dialog di film berjudul "3 Body Problem".

"A lack of fear leads to extinction. If your ancestors had followed the fearless, you would not exist. Humanity must learn  to fear again."

Kita memang perlu punya rasa takut. Seorang pemuda "usil" menghina penjual kue dengan kalimat, "Lelaki kok jualan kue. Mendingan jualan sabu." Si penjual tersinggung. Keluarlah clurit. Dan pemuda itu kini berada di alam lain. [Tautan] Hal ini tidak akan terjadi bila si pemuda itu "takut" pada akibat bila dia menghina orang lain, dan pelaku "takut" pada akibat bila membunuh. Rasa takut menghindarkan kita dari kepunahan.

Di Pendidikan Guru Penggerak, kita diajarkan untuk selalu menggunakan kalimat positif misalkan, "Hormati harta milik orang lain."
Kita dianjurkan agar tidak memakai kalimat, "Jangan mencuri."

Padahal, anak perlu tahu tentang Neraka. Anak perlu tahu konsekuensi bila mencuri. Anak perlu tahu konsekuensi bila syirik. Dan itu tidak dapat dijelaskan hanya dengan memakai kalimat-kalimat positif.

Mawan A. Nugroho.
Guru Penggerak angkatan 7.

Kata kunci: Tiada keteraturan tanpa disiplin, dan tiada disiplin tanpa rasa takut. Keywords: There is no order without discipline, and no discipline without fear.
https://sl.bing.net/SMohWMjE4G